Jawa

Photo of author

Post By Jowo

Jawa (ꦗꦮ dalam aksara dan Jawa dalam latin, Jowo dalam bahasa jawa) juga dieja Djawa atau Jawa adalah nama suku dan nama pulau, Banyak kisah sejarah berlangsung di pulau ini. Sejak zaman dahulu, Jawa adalah pusat beberapa Kerajaan Hindu-Buddha, Kesultanan Islam, Pemerintahan kolonial Hindia Belanda, serta pusat pergerakan kemerdekaan Indonesia. Jawa sangat erat dengan ragam Budaya Seni, Agama dan Kepercayaan, serta menjunjung tinggi nilai-nilai dan norma-norma kehidupan untuk mencari keseimbangan dalam tatanan kehidupan yang pada akhirnya menjadi adat istiadat. Hingga saat ini masih cukup banyak orang jawa yang melestarikan budayanya.

Etimologi

Asal mula nama “Jawa” dapat dilacak dari kronik berbahasa Sanskerta yang menyebut adanya pulau bernama yavadvip (dvipa berarti “pulau”, dan yava berarti “jelai” atau juga “biji-bijian”). Apakah biji-bijian ini merupakan jawawut (Setaria italica) atau padi, keduanya telah banyak ditemukan di pulau ini pada masa sebelum masuknya pengaruh India. Kemudian berdasarkan kesusastraan India terutama pustaka Tamil, disebut nama Sanskerta yāvaka dvīpa (dvīpa = pulau). Yavadvipa disebut dalam epik asal India, Ramayana. Sugriwa, panglima wanara (manusia kera) dari pasukan Sri Rama, mengirimkan utusannya ke Yavadvipa (Pulau Jawa) untuk mencari Dewi Sita.

Kemungkinan lain, pulau ini memiliki banyak nama sebelumnya, termasuk kemungkinan berasal dari kata jaú yang berarti “jauh”. Dugaan lain ialah bahwa kata “Jawa” berasal dari akar kata dalam bahasa Proto-Austronesia yang berarti “rumah”. Disebutkan dalam karya Ptolemy bernama Geographia yang dibuat sekitar 150 masehi di Kekaisaran Romawi, pulau yang bernama Iabadiu atau Jabadiu. Labadiu dikatakan berarti “pulau jelai”, juga kaya akan emas, dan mempunyai kota perak bernama Argyra di ujung barat. Nama ini mengindikasikan Jawa, dan kelihatannya berasal dari nama Hindu Yavadvipa (Pulau Jawa).

Berita tahunan dari Songshu dan Liangshu menyebut Jawa sebagai She-po (abad ke-5 M), He-ling (tahun 640–818 M), lalu menyebutnya She-po lagi sampai masa Dinasti Yuan (1271–1368), di mana mereka mulai menyebut Zhao-Wa (爪哇). Menurut catatan Ma Huan (yaitu Yingya Shenlan), orang China menyebut Jawa sebagai Chao-Wa, dan dulunya pulau ini disebut 阇婆 (She-pó atau She-bó). Sulaiman al-Tajir al-Sirafi menyebutkan dua pulau penting yang memisahkan Arab dan Cina. Yang pertama adalah Al-Rami dengan panjang 800 parasang, yang diidentifikasi sebagai Sumatera, dan yang lainnya adalah Zabaj (bahasa Arab, الزابج, Bahasa Indonesia: Sabak), 400 parasang panjangnya, diidentifikasi sebagai Jawa. Saat John dari Marignolli (1338–1353) pulang dari China ke Avignon, ia singgah di Kerajaan Saba, yang ia bilang memiliki banyak gajah dan dipimpin oleh ratu.

Nama Saba ini bisa jadi adalah interpretasinya untuk She-bó. (hlm.xii, 192–194) Afanasij Nikitin, seorang pedagang dari Tver (di Rusia), melakukan perjalanan ke India pada tahun 1466 dan mendeskripsikan tanah Jawa di buku hariannya, yang ia sebut шабайте (shabait/šabajte). Kata “Saba” sendiri berasal dari kata bahasa Jawa kawi yaitu Saba yang berarti “pertemuan” atau “rapat”. Dengan demikian kata itu dapat diartikan sebagai “tempat bertemu”. Menurut Fahmi Basya, kata tersebut berarti “tempat bertemu”, “tempat berkumpul”, atau “tempat berkumpulnya bangsa-bangsa”.

Pulau Jawa

Pulau jawa terletak di Indonesia yang terletak di kepulauan Sunda Besar dan merupakan pulau terluas ke-13 di dunia. Jawa adalah pulau yang sebagian besar terbentuk dari aktivitas vulkanik. Deretan gunung-gunung berapi membentuk jajaran yang terbentang dari timur hingga barat pulau ini, dengan dataran endapan aluvial sungai di bagian utara. Pulau Jawa dipisahkan oleh selat dengan beberapa pulau utama, yakni Pulau Sumatra di barat laut, Pulau Kalimantan di utara, Pulau Madura di timur laut, dan Pulau Bali di sebelah timur. Sementara itu di sebelah selatan pulau Jawa terbentang Samudra Hindia. Sisa-sisa fosil Homo erectus, yang populer dijuluki Manusia Jawa, ditemukan di sepanjang daerah tepian Sungai Bengawan Solo, dan peninggalan tersebut berasal dari masa 1,7 juta tahun yang lampau. Situs Sangiran adalah situs prasejarah yang penting di Jawa. Beberapa struktur megalitik telah ditemukan di Pulau Jawa, misalnya menhir, dolmen, meja batu, dan piramida berundak yang lazim disebut Punden Berundak. Punden berundak dan menhir ditemukan di situs megalitik di Paguyangan, Cisolok, dan Gunung Padang, Jawa Barat. Situs megalitik Cipari yang juga ditemukan di Jawa Barat menunjukkan struktur monolit, teras batu, dan sarkofagus.

Tiga fosil utama Manusia Jawa yang ditemukan pada tahun 1891–92: tengkorak, gigi geraham, dan tulang paha, masing-masing dilihat dari dua sudut berbeda.

Beberapa struktur megalitik telah ditemukan di Pulau Jawa, misalnya menhir, dolmen, meja batu, dan piramida berundak yang lazim disebut Punden Berundak. Punden berundak dan menhir ditemukan di situs megalitik di Paguyangan, Cisolok, dan Gunung Padang, Jawa Barat. Situs megalitik Cipari yang juga ditemukan di Jawa Barat menunjukkan struktur monolit, teras batu, dan sarkofagus. Punden berundak ini dianggap sebagai struktur asli Nusantara dan merupakan rancangan dasar bangunan candi pada zaman kerajaan Hindu-Buddha Nusantara setelah penduduk lokal menerima pengaruh peradaban Hindu-Buddha dari India. Pada abad ke-4 SM hingga abad ke-1 atau ke-5 M Kebudayaan Buni yaitu kebudayaan tembikar tanah liat berkembang di pesisir utara Jawa Barat. Kebudayaan protosejarah ini merupakan pendahulu kerajaan Tarumanagara.

Pulau Jawa yang sangat subur dan bercurah hujan tinggi memungkinkan berkembangnya budidaya padi di lahan basah, sehingga mendorong terbentuknya tingkat kerjasama antar desa yang semakin kompleks. Dari aliansi-aliansi desa tersebut, berkembanglah kerajaan-kerajaan kecil. Jajaran pegunungan vulkanik dan dataran-dataran tinggi di sekitarnya yang membentang di sepanjang Pulau Jawa menyebabkan daerah-daerah interior pulau ini beserta masyarakatnya secara relatif terpisahkan dari pengaruh luar. Pada masa sebelum berkembangnya negara-negara Islam serta kedatangan kolonialisme Eropa, sungai-sungai yang ada merupakan sarana perhubungan utama masyarakat, meskipun kebanyakan sungai di Jawa beraliran pendek. Hanya Sungai Brantas dan Bengawan Solo yang dapat menjadi sarana penghubung jarak jauh, sehingga pada lembah-lembah sungai tersebut terbentuklah pusat dari kerajaan-kerajaan yang besar.

Diperkirakan suatu sistem perhubungan yang terdiri dari jaringan jalan, jembatan permanen, serta pos pungutan cukai telah terbentuk di Pulau Jawa setidaknya pada pertengahan abad ke-17. Para penguasa lokal memiliki kekuasaan atas rute-rute tersebut, musim hujan yang lebat dapat pula mengganggu perjalanan, dan demikian pula penggunakan jalan-jalan sangat tergantung pada pemeliharaan yang terus-menerus. Dapatlah dikatakan bahwa perhubungan antarpenduduk Pulau Jawa pada masa itu adalah sulit.

Pulau di juga di juluki sebgai Pegunungan seribu atau Pegunungan Sewu adalah nama untuk deretan pegunungan yang terbentang memanjang di sepanjang pantai selatan Kabupaten Gunungkidul (Daerah Istimewa Yogyakarta), Kabupaten Wonogiri (Jawa Tengah), hingga Kabupaten Pacitan (Jawa Timur) di Pulau Jawa. Deretan pegunungan Sewu terbentuk karena pengangkatan dasar laut ribuan tahun silam. Batuan kapur menjadi ciri khas pegunungan ini.

Suku

Suku Jawa (Jawa: ꦠꦶꦪꦁ​​ꦗꦮꦶ, translit. Tiyang Jawi (krama); Jawa: ꦮꦺꦴꦁꦗꦮ, translit. Wong Jawa (ngoko) adalah suku bangsa Austronesia terbesar di Indonesia yang berasal dari Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Teori mengenai asal-usul suku Jawa pertama kali dikemukakan oleh para arkeolog. Mereka meyakini bahwa nenek moyang Suku Jawa adalah penduduk pribumi yang tinggal jutaan tahun yang lalu di pulau Jawa ini. Berdasarkan berbagai penelitian, arkeolog menemukan beberapa fosil manusia purba yang dipercaya sebagai asal-usul Suku Jawa seperti Pithecanthropus Erectus dan Homo Erectus. Fosil tersebut dilakukan tes DNA dengan suku Jawa pada masa kini, hasil DNA tersebut menyatakan tidak ada perbedaan yang jauh satu antara lain. Hal ini akhirnya dipercayai oleh arkeolog sebagai asal-usul keberadaan suku Jawa.

Pada tahun 2010, setidaknya 40,22% penduduk Indonesia merupakan etnis Jawa. Selain itu, suku Jawa ada pula yang berada di negara Kaledonia Baru dan Suriname, karena pada masa kolonial Belanda suku ini dibawa ke sana sebagai pekerja. Saat ini, suku Jawa di Suriname menjadi salah satu minoritas di sana dan dikenal sebagai Jawa Suriname. Ada juga sejumlah besar suku Jawa di sebagian besar provinsi di Indonesia, Malaysia, Singapura, Arab Saudi, dan Belanda. Mayoritas orang Jawa adalah umat Islam, dengan beberapa minoritas yaitu Kristen, Kejawen, Hindu, dan Buddha. Meskipun demikian, peradaban orang Jawa telah dipengaruhi oleh lebih dari seribu tahun interaksi antara budaya Kejawen dan Hindu-Buddha, dan pengaruh ini masih terlihat dalam sejarah, budaya, tradisi, dan bentuk kesenian Jawa. Dengan populasi global yang cukup besar, suku Jawa menjadi kelompok etnis terbesar keempat di antara umat Islam di seluruh dunia, setelah bangsa Arab, Bengali, dan Punjab. Suku Jawa memiliki beberapa sub-suku, yakni Banyumasan, Cirebon, Osing, Tengger, dan Samin.

Aksara

Aksara Jawa dibuat berdasarkan “Sangkan Paraning Dumadi” (asal usul kehidupan), dikenal juga sebagai Hanacaraka (ꦲꦤꦕꦫꦏ) dan Carakan (ꦕꦫꦏꦤ꧀), adalah salah satu aksara tradisional Nusantara yang digunakan untuk menulis bahasa Jawa dan sejumlah bahasa daerah Indonesia lainnya seperti bahasa Sunda dan bahasa Sasak. Tulisan ini berkerabat dekat dengan aksara Bali. Berdasar tradisi lisan, aksara jawa diciptakan oleh Aji Saka, tokoh pendatang dari India, dari suku Shaka (Scythia). Legenda melambangkan kedatangan Dharma (ajaran dan peradaban Hindu-Buddha) ke pulau Jawa. Kini kata Saka masih digunakan dalam istilah dalam bahasa Jawa, saka atau soko, yang berarti penting, pangkal, atau asal-mula. Aji Saka bermakna “raja asal-mula” atau “raja pertama”.

Aksara Jawa adalah sistem tulisan abugida yang terdiri dari sekitar 20 hingga 33 aksara dasar, tergantung dari penggunaan bahasa yang bersangkutan. Seperti aksara Brahmi lainnya, setiap konsonan merepresentasikan satu suku kata dengan vokal inheren /a/ atau /ɔ/ yang dapat diubah dengan pemberian diakritik tertentu. Arah penulisan aksara Jawa adalah kiri ke kanan. Secara tradisional aksara ini ditulis tanpa spasi antarkata (scriptio continua) namun umum diselingi dengan sekelompok tanda baca yang bersifat dekoratif.

Aksara Jawa merupakan salah satu aksara turunan Brahmi di Indonesia yang sejarahnya dapat ditelusuri dengan runut karena banyaknya peninggalan-peninggalan yang memungkinkan penelitian epigrafis secara mendetail. Akar paling tua dari aksara Jawa adalah aksara Brahmi di India yang berkembang menjadi aksara Pallawa di Asia Selatan dan Tenggara antara abad ke-6 hingga 8. Aksara Pallawa kemudian berkembang menjadi aksara Kawi yang digunakan sepanjang periode Hindu-Buddha Indonesia antara abad ke-8 hingga 15. Di berbagai daerah Nusantara, aksara Kawi kemudian berkembang menjadi aksara-aksara tradisional Indonesia yang salah satunya adalah aksara Jawa. Aksara Jawa modern sebagaimana yang kini dikenal berangsur-angsur muncul dari aksara Kawi pada peralihan abad ke-14 hingga 15 ketika ranah Jawa mulai menerima pengaruh Islam yang signifikan.

Sejarah

Sejarah Jawa sangat erat kaitannya dengan cerita-cerita yang melegenda seperti Semar dan Aji Saka. Banyak orang Jawa yang belum mengetahui mengenai asal-usul dan sejarah leluhurnya sendiri. Karena ketidaktahuan, mereka mengatakan bahwa leluhur mereka merupakan penduduk asli yang sekian juta tahun telah tinggal di tanah Jawa. Bukannya para penduduk pribumi serta para pendatang dari benua Asia dan Eropa, misalnya Cina, India, Thailand, Arab, Turki, dan lain-lain yang telah mengalami proses pencampuran darah sangat panjang. Dengan mengenal asal-usul, sejarah,beserta kepribadian, kebudayaan, filsafat, dan pamali orang Jawa. generasi Jawa diharapkan menemukan kejawaannya (Kejawen) kembali. Mengingat generasi jawa semakin pangling dengan segala hal yang berhubungan dengan jawa. Sesudah arus moderenisasi yang datangnya melampaui kecepatan air bah itu semakin menggerus setiap jiwa generasi jawa.

Suku Jawa mepercayai bahwa semar adalah orang yang menginjakan kakinya di jawa pertama kali, kerena itu dia di juluki sebagai dahyang tanah jawa, atau pamomong Tanah Jawa, tetapi munculnya peradaban di Pulau Jawa sering dikaitkan dengan kisah Aji Saka yang datang ke Jawa pada tahun 78 Masehi. Meskipun Aji Saka dikatakan sebagai pembawa peradaban di Jawa, kisah Aji saka mendapatkan beberapa sanggahan dan bantahan dari sumber-sumber sejarah lainnya. Ramayana karya Valmiki, yang dibuat sekitar 500 SM, mencatat Jawa sudah memiliki organisasi pemerintahan kerajaan jauh sebelum kisah itu:

“Yawadwipa dihiasi tujuh kerajaan, pulau emas dan perak, kaya akan tambang emas, dan disitu terdapat Gunung Cicira (dingin) yang menyentuh langit dengan puncaknya.”

Patung-patung pendekar perunggu, Jawa, sekitar tahun 500 SM–300 M.

Menurut catatan China Míng Shǐ, Kerajaan Jawa didirikan pada 65 SM, atau 143 tahun sebelum kisah Aji Saka dimulai. Kisah Saka atau Aji Saka merupakan kisah Jawa Baru. Kisah ini belum ditemukan relevansinya dalam teks Jawa Kuno. Kisah ini menceritakan peristiwa di kerajaan Medang Kamulan di Jawa pada masa lalu. Pada saat itu, Raja Medang Kamulan Prabu Dewata Cengkar digantikan oleh Aji Saka. Kisah ini dianggap sebagai kiasan masuknya bangsa India ke Jawa. Merujuk pada informasi dinasti Liang, kerajaan Jawa terbelah menjadi dua, Kerajaan prapenerapan Hinduisme dan kerajaan setelah menerapkan tradisi Hindu yang dimulai tahun 78 masehi.

Masa Kerajaan Hindu-Buddha

Sebelum Hindu-Buddha datang dan menyebar ke tanah Jawa, peradaban Jawa asli sudah menganut kapitayan yang sejak awal abad Masehi ataupun sebelumnya, kemudian datang agama Hindu-Budha yang memiliki kekuasaan politik dalam bentuk kerajaan-kerajaan. Dalam Taraf keagamaan, suku jawa menerima pengaruh agama dan kebudayaan dari Hindu-Budha, dengan cara melalui pemahaman dan pengolahan dengan golongan bangsawan serta para cendikiawan jawa. Dari pemahaman dan pengolahan para cendikiawan inilah orang-orang awam menerima pengaruh Hindu-Budha. Para cendikiawan yang mengerti bahasa sansekerta, akhirnya dapat pula mengolah huruf-huruf yang berasal dari Hindu-Budha, untuk menulis bahasa Jawa.

Sebuah stupa Buddha di candi Borobudur, dari abad ke-9.

Pengaruh Hindu-Budha dalam masyarakat Jawa bersifat ekspansif, sedangkan budaya Jawa yang menerima pengaruh dan menyerap unsur-unsur Hinduisme-Budhisme setelah melalui proses akulturasi yang tidak saja berpengaruh pada sistem budaya, tetapi juga berpengaruh terhadap sistem agama. Sekitar pada abad ke-4 dan ke-7 muncul Kerajaan Taruma dan Kerajaan Sunda di Jawa Barat, masing-masing pada abad , sedangkan Kerajaan Medang adalah kerajaan besar pertama yang berdiri di Jawa Tengah pada awal abad ke-8.

Kerajaan Medang menganut agama Hindu dan memuja Dewa Siwa, dan kerajaan ini membangun beberapa candi Hindu yang terawal di Jawa yang terletak di Dataran Tinggi Dieng. Di Dataran Kedu pada abad ke-8 berkembang Wangsa Sailendra, yang merupakan pelindung agama Buddha Mahayana. Kerajaan mereka membangun berbagai candi pada abad ke-9, antara lain Borobudur dan Prambanan di Jawa Tengah. Sekitar abad ke-10, pusat kekuasaan bergeser dari tengah ke timur Pulau Jawa. Di wilayah timur berdirilah kerajaan-kerajaan Kadiri, Singhasari, dan Majapahit yang terutama mengandalkan pada pertanian padi. Namun juga mengembangkan perdagangan antar kepulauan Indonesia beserta Tiongkok dan India.

Raden Wijaya mendirikan Majapahit, dan kekuasaannya mencapai puncaknya pada masa pemerintahan Hayam Wuruk (m. 1350-1389). Kerajaan mengklaim kedaulatan atas seluruh kepulauan Indonesia, meskipun kontrol langsung cenderung terbatas pada Jawa, Bali, dan Madura saja. Gajah Mada adalah mahapatih pada masa Hayam Wuruk, yang memimpin banyak penaklukan teritorial bagi kerajaan. Kerajaan-kerajaan di Jawa sebelumnya mendasarkan kekuasaan mereka pada pertanian. Namun Majapahit berhasil menguasai pelabuhan dan jalur pelayaran sehingga menjadi kerajaan komersial pertama di Jawa. Majapahit mengalami kemunduran seiring dengan wafatnya Hayam Wuruk dan mulai masuknya agama Islam ke Indonesia.

Masa kerajaan Islam

Situasi kehidupan Reigius masyarakat di Tanah Jawa sebelum datangnya Islam sangatlah heterogen. Kepercayaan import maupun kepercayaan asli telah dianut oleh orang Jawa. Sebelum Hindu-Budha, Orang Jawa prasejarah telah memeluk keyakinan yang bercorak animisme dan dinamisme. Pandangan hidup orang Jawa adalah mengarah pada pembentukan kesatuan numinous antara alam nyata, masyarakat, dan alam adikodrati yang dianggap keramat.

Pada akhir abad ke-16, perkembangan islam telah melampaui Hindu dan Budha sebagai agama dominan di Jawa. Kemunculan kerajaan islam di Jawa juga tidak lepas dari peran walisongo. Pada awalnya penyebaran agama islam sangat pesat dan diterima oleh kalangan masyarakat biasa, hingga pada akhirnya dakwah itu masuk dan dijalankan kepada kaum penguasa pulau ini. Tercatat kerajaan islam pertama di Jawa adalah Kerajaan Demak atau Kesultanan Demak Bintoro. Kerajaan Demak ini dipimpin oleh salah satu keturunan Majapahit yang beragama islam yaitu Raden Patah. Dalam masa ini, kerajaan-kerajaan Islam mulai berkembang dari Pajang, Surakarta, Yogyakarta, Cirebon, dan Banten membangun kekuasaannya.

Kesultanan Mataram pada akhir abad ke-16 tumbuh menjadi kekuatan yang dominan dari bagian tengah dan timur Jawa. Para penguasa Surabaya dan Cirebon berhasil ditundukkan di bawah kekuasaan Mataram, sehingga hanya Mataram dan Banten lah yang kemudian tersisa ketika datangnya bangsa Belanda pada abad ke-17. Beberapa kerajaan warisan islam di jawa masih dapat kita temukan di beberapa kota misalnya Surakarta terdapat dua kerajaan yaitu Kasunanan dan Mangkunegaran, di Yogyakarta ada dua kerajaan yaitu Kasultanan dan Pakualaman, dan di Cirebon ada tiga kerajaan yaitu Kasepuhan, Kacirebonan dan Kasepuhan.

Masa Kolonial

Hubungan Jawa dengan kekuatan-kekuatan kolonial Eropa dimulai pada tahun 1522, dengan diadakannya perjanjian antara Kerajaan Sunda dan Portugis di Malaka. Setelah kegagalan perjanjian tersebut, kehadiran Portugis selanjutnya hanya terbatas di Malaka dan di pulau-pulau sebelah timur nusantara saja. Sebuah ekspedisi di bawah pimpinan Cornelis de Houtman yang terdiri dari empat buah kapal pada tahun 1596, menjadi awal dari hubungan antara Belanda dan Indonesia. Pada akhir abad ke-18, Belanda telah berhasil memperluas pengaruh mereka terhadap kesultanan-kesultanan di pedalaman Pulau Jawa (lihat Perusahaan Hindia Timur Belanda di Indonesia). Meskipun orang-orang Jawa adalah pejuang yang pemberani, konflik internal telah menghalangi mereka membentuk aliansi yang efektif dalam melawan Belanda. Sisa-sisa Mataram bertahan sebagai Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta.

Perkebunan teh di Jawa pada masa kolonial Belanda. Sekitar tahun 1926.

Para raja Jawa mengklaim berkuasa atas kehendak Tuhan, dan Belanda mendukung sisa-sisa aristokrasi Jawa tersebut dengan cara mengukuhkan kedudukan mereka sebagai penguasa wilayah atau bupati dalam lingkup administrasi kolonial. Hubungan Jawa dengan kekuatan-kekuatan kolonial Eropa dimulai pada tahun 1522, dengan diadakannya perjanjian antara Kerajaan Sunda dan Portugis di Malaka. Setelah kegagalan perjanjian tersebut, kehadiran Portugis selanjutnya hanya terbatas di Malaka dan di pulau-pulau sebelah timur nusantara saja. Sebuah ekspedisi di bawah pimpinan Cornelis de Houtman yang terdiri dari empat buah kapal pada tahun 1596, menjadi awal dari hubungan antara Belanda dan Indonesia. Pada akhir abad ke-18, Belanda telah berhasil memperluas pengaruh mereka terhadap kesultanan-kesultanan di pedalaman Pulau Jawa (lihat Perusahaan Hindia Timur Belanda di Indonesia). Meskipun orang-orang Jawa adalah pejuang yang pemberani, konflik internal telah menghalangi mereka membentuk aliansi yang efektif dalam melawan Belanda. Sisa-sisa Mataram bertahan sebagai Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta. Para raja Jawa mengklaim berkuasa atas kehendak Tuhan, dan Belanda mendukung sisa-sisa aristokrasi Jawa tersebut dengan cara mengukuhkan kedudukan mereka sebagai penguasa wilayah atau bupati dalam lingkup administrasi kolonial.

Selama abad ke-18, Vereenigde Oost-Indische Compagnie (disingkat VOC) memantapkan dirinya sebagai kekuatan ekonomi dan politik di pulau Jawa setelah runtuhnya Kesultanan Mataram. Perusahaan dagang Belanda ini telah menjadi kekuatan utama di perdagangan Asia sejak awal 1600-an, tetapi pada abad ke-18 mulai mengembangkan minat untuk campur tangan dalam politik pribumi di pulau Jawa demi meningkatkan kekuasaannya pada ekonomi lokal.

Namun korupsi, manajemen yang buruk dan persaingan ketat dari Inggris (East India Company) mengakibatkan runtuhnya VOC menjelang akhir abad ke-18. Pada tahun 1796, VOC akhirnya bangkrut dan kemudian dinasionalisasi oleh pemerintah Belanda. Akibatnya, harta dan milik (aset) VOC di Nusantara jatuh ke tangan mahkota Belanda pada tahun 1800. Namun, ketika Perancis menduduki Belanda antara tahun 1806 dan 1815, aset-aset tersebut dipindahkan ke tangan Inggris. Setelah kekalahan Napoleon di Waterloo diputuskan bahwa sebagian besar wilayah Nusantara kembali ke tangan Belanda.

Di awal masa kolonial, Jawa memegang peranan utama sebagai daerah penghasil beras. Pulau-pulau penghasil rempah-rempah, misalnya kepulauan Banda, secara teratur mendatangkan beras dari Jawa untuk mencukupi kebutuhan hidup mereka. Inggris sempat menaklukkan Jawa pada tahun 1811. Jawa kemudian menjadi bagian dari Kerajaan Britania Raya, dengan Sir Stamford Raffles sebagai Gubernur Jenderalnya. Dua nama menonjol sebagai arsitek Pemerintah Kolonial Belanda di Indonesia. Pertama, Herman Willem Daendels, Gubernur Jenderal 1808-1811 ketika Belanda dikuasai oleh Perancis, dan, kedua, Letnan Inggris Stamford Raffles, Gubernur Jenderal 1811-1816 ketika Jawa dikuasai Inggris. Daendels mereorganisasi pemerintahan kolonial pusat dan daerah dengan membagi pulau Jawa dalam distrik (yang juga dikenal sebagai residensi) yang dipimpin oleh seorang pegawai negeri sipil Eropa – yang disebutkan residen – yang secara langsung merupakan bawahan dari – dan harus melapor kepada – Gubernur Jenderal di Batavia. Para residen ini bertanggung jawab atas berbagai hal di residensi mereka, termasuk masalah hukum dan organisasi pertanian.

Raffles melanjutkan reorganisasi pendahulunya (Daendels) dengan mereformasi pengadilan, polisi dan sistem administrasi di Jawa. Dia memperkenalkan pajak tanah di Jawa yang berarti bahwa petani Jawa harus membayar pajak, kira-kira nilai dua-perlima dari panen tahunan mereka, kepada pihak berwenang. Raffles juga sangat tertarik dengan budaya dan bahasa Jawa. Pada tahun 1817 ia menerbitkan bukunya The History of Java, salah satu karya akademis pertama yang topiknya pulau Jawa. Namun, reorganisasi administrasinya yang diterapkan Raffles juga berarti meningkatnya intervensi pihak asing di masyarakat dan ekonomi Jawa, yang tercermin dari meningkatnya jumlah pejabat peringkat menengah Eropa yang bekerja di residensi-residensi di pulau Jawa. Antara tahun 1825 dan tahun 1890 jumlah ini meningkat dari 73 menjadi 190 pejabat Eropa.

Sistem pemerintahan kolonial Belanda di Jawa adalah sistem yang direk (langsung) maupun dualistik. Bersamaan dengan hirarki Belanda, ada hirarki pribumi yang berfungsi sebagai perantara antara petani Jawa dan layanan sipil Eropa. Bagian atas struktur hirarki pribumi ini terdiri dari para aristokrasi Jawa, sebelumnya para pejabat yang mengelola kerajaan Mataram. Namun, karena dikuasai penjajah, para priyayi ini terpaksa melaksanakan kehendak Belanda.

Meningkatnya dominasi Belanda atas pulau Jawa tidak datang tanpa perlawanan. Ketika pemerintah kolonial Belanda memutuskan untuk membangun jalan di tanah yang dimiliki Pangeran Diponegoro (yang ditunjuk sebagai wali tahta Yogyakarta setelah kematian mendadak saudara tirinya), ia memberontak dengan didukung oleh mayoritas penduduk di Jawa Tengah dan ia menjadikannya perang jihad. Perang ini berlangsung tahun 1825-1830 dan mengakibatkan kematian sekitar 215,000 orang, sebagian besar orang Jawa. Tapi setelah Perang Jawa selesai – dan pangeran Diponegoro ditangkap – Belanda jauh lebih kuat di Jawa dibanding sebelumnya.

Tanam Paksa atau Sistem Kultivasi di Jawa

Persaingan dengan para pedagang Inggris, Perang Napoleon di Eropa, dan Perang Jawa mengakibatkan beban keuangan yang berat bagi pemerintah Belanda. Diputuskan bahwa Jawa harus menjadi sebuah sumber pendapatan utama untuk Belanda dan karena itu Gubernur Jenderal Van den Bosch mendorong dimulainya era Tanam Paksa (para sejarawan di Indonesia mencatat periode ini sebagai era Tanam Paksa namun pemerintah kolonial Belanda menyebutnya Cultuurstelsel yang artinya Sistem Kultivasi) di tahun 1830.

Dengan sistem ini, Belanda memonopoli perdagangan komoditi-komoditi ekspor di Jawa. Terlebih lagi, pihak Belanda-lah yang memutuskan jenis (dan jumlah) komoditi yang harus diproduksi oleh para petani Jawa. Secara umum, ini berarti bahwa para petani Jawa harus menyerahkan seperlima dari hasil panen mereka kepada Belanda. Sebagai gantinya, para petani menerima kompensasi dalam bentuk uang dengan harga yang ditentukan Belanda tanpa memperhitungkan harga komoditi di pasaran dunia. Para pejabat Belanda dan Jawa menerima bonus bila residensi mereka mengirimkan lebih banyak hasil panen dibanding waktu sebelumnya, maka mendorong intervensi top-down dan penindasan. Selain pemaksaan penanaman dan kerja rodi, pajak tanah Raffles juga masih berlaku! Sistem Tanam Paksa menghasilkan kesuksesan keuangan. Antara tahun 1832 dan 1852, sekitar 19 persen dari total pendapatan pemerintah Belanda berasal dari koloni Jawa. Antara tahun 1860 dan 1866, angka ini bertambah menjadi 33 persen.

Pada awalnya, sistem Tanam Paksa itu tidak didominasi hanya oleh pemerintah Belanda saja. Para pemegang kekuasaan Jawa, pihak Eropa swasta dan juga para pengusaha Tionghoa ikut berperan. Namun, setelah 1850 – waktu sistem Tanam Paksa direorganisasi – pemerintah kolonial Belanda menjadi pemain utama. Namun reorganisasi ini juga membuka pintu bagi pihak-pihak swasta Eropa untuk mulai mendominasi Jawa. Sebuah proses privatisasi terjadi karena pemerintah kolonial secara bertahap mengalihkan produksi komoditi ekspor kepada para pengusaha swasta Eropa.

Zaman Liberal Hindia Belanda

Semakin banyak suara terdengar di Belanda yang menolak sistem Tanam Paksa dan mendorong sebuah pendekatan yang lebih liberal bagi perusahaan-perusahaan asing. Penolakan sistem Tanam Paksa ini terjadi karena alasan kemanusiaan dan alasan ekonomi. Pada 1870 kelompok liberal di Belanda memenangkan kekuasaan di parlemen Belanda dan dengan sukses menghilangkan beberapa ciri khas sistem Tanam Paksa seperti persentase penanaman beserta keharusan menggunakan lahan dan tenaga kerja untuk hasil panen dengan tujuan ekspor.

Kelompok liberal ini membuka jalan untuk dimulainya sebuah periode baru dalam sejarah Indonesia yang dikenal sebagai Zaman Liberal (sekitar 1870-1900). Periode ini ditandai dengan pengaruh besar dari kapitalisme swasta dalam kebijakan kolonial di Hindia Belanda. Pemerintah kolonial pada saat itu kurang lebih memainkan peran sebagai pengawas dalam hubungan antara pengusaha-pengusaha Eropa dengan masyarakat pedesaan Jawa. Namun, walau kaum liberal mengatakan bahwa keuntungan pertumbuhan ekonomi juga akan mengucur kepada masyarakat lokal, keadaan para petani Jawa yang menderita karena kelaparan, kurang pangan, dan penyakit tidak lebih baik di Zaman Liberal dibandingkan dengan masa sistem Tanam Paksa.

Abad ke-19 juga dikenal sebagai abad ekspansi karena Belanda melaksanakan ekspansi geografis yang substantial di Nusantara. Didorong oleh mentalisme imperialisme baru, negara-negara Eropa bersaing untuk mencari koloni-koloni di luar benua Eropa untuk motif ekonomi dan status. Salah satu motif penting bagi Belanda untuk memperluas wilayahnya di Nusantara – selain keuntungan keuangan – adalah untuk mencegah negara-negara Eropa lain mengambil bagian-bagian dari wilayah ini. Pertempuran paling terkenal (dan pertempuran yang paling lama antara Belanda dan rakyat pribumi) selama periode ekspansi Belanda abad ini adalah Perang Aceh yang dimulai pada tahun 1873 dan berlangsung sampai 1913, berakibat pada kematian lebih dari 100,000 orang. Namun, Belanda tidak pernah memegang kontrol penuh atas Aceh. Toh, integrasi politik antara Jawa dan pulau-pulau lain di Nusantara sebagai kesatuan politis kolonial telah tercapai (sebagian besar) pada awal abad ke-20.

Politik Etis dan Nasionalisme Indonesia

Waktu perbatasan Hindia Belanda mulai mirip perbatasan yang ada di Indonesia saat ini, Ratu Belanda Wilhelmina membuat pengumuman pada pidato tahunannya di 1901 bahwa kebijakan baru, Politik Etis, akan diterapkan di Hindia Belanda. Politik Etis ini (yang merupakan pengakuan bahwa Belanda memiliki hutang budi kepada orang pribumi Nusantara) bertujuan untuk meningkatkan standar kehidupan penduduk asli. Cara untuk mencapai tujuan ini adalah melalui intervensi negara secara langsung dalam kehidupan (ekonomi), dipromosikan dengan slogan ‘irigasi, pendidikan, dan emigrasi’. Namun, pendekatan baru ini tidak membuktikan kesuksesan yang signifikan dalam hal meningkatkan standar kehidupan penduduk asli.

Namun, Politik Etis itu ada efek samping yang sangat penting. Komponen pendidikan dalam politik ini berkontribusi signifikan pada kebangkitan nasionalisme Indonesia dengan menyediakan alat-alat intelektual bagi para elite masyarakat Indonesia untuk mengorganisir dan menyampaikan keberatan-keberatan mereka terhadap pemerintah kolonial. Politik Etis ini memberikan kesempatan lewat sistem edukasi, untuk sebagian kecil kaum elit Indonesia, untuk memahami ide-ide politik Barat mengenai kemerdekaan dan demokrasi. Maka, untuk pertama kalinya orang-orang pribumi mulai mengembangkan kesadaran nasional sebagai ‘orang Indonesia’.

Pada 1908, para mahasiswa di Batavia mendirikan asosiasi Budi Utomo, kelompok politis pribumi yang pertama. Peristiwa ini dianggap sebagai saat kelahiran nasionalisme Indonesia. Hal ini memulai tradisi politik kerja sama antara elit muda Indonesia dan para pejabat pemerintahan Belanda yang diharapkan untuk membantu wilayah Hindia Barat mencapai kemerdekaan yang terbatas.

Bab selanjutnya dalam proses kebangkitan nasionalisme Indonesia adalah pendirian partai politik pertama berbasis masa, Sarekat Islam, pada tahun 1911. Pada awalnya, organisasi ini didirikan untuk mendukung para pengusaha pribumi terhadap pengusaha Tionghoa yang mendominasi ekonomi lokal namum Sarekat Islam ini kemudian mengembangkan fokusnya dan mengembangkan kedasaran politik populer dengan tendensi subversif.

Gerakan-gerakan penting lainnya yang menyebabkan terbukanya pemikiran politik pribumi adalah Muhammadiyah, gerakan reformis sosio-religius Islam yang didirikan pada tahun 1912 dan Asosiasi Sosial Demokrat Hindia, gerakan komunis yang didirikan pada tahun 1914 yang menyebarluaskan ide-ide Marxisme di Hindia Belanda. Perpecahan internal di gerakan ini kemudian mendorong pendirian Partai Komunis Indonesia (PKI) pada tahun 1920.

Pada awalnya, pemerintah kolonial Belanda mengizinkan pendirian gerakan-gerakan politik lokal namun ketika ideologi Indonesia diradikalisasi pada tahun 1920an (seperti yang tampak dalam pemberontakan-pemberontakan komunis di Jawa Barat dan Sumatra Barat di tahun 1926 dan 1927) pemerintah kolonial Belanda mengubahkan kebijakannya. Sebuah rezim yang relatif toleran digantikan dengan rezim represif yang menekan semua tindakan yang diduga subversif. Rezim represif ini justru memperparah keadaannya dengan meradikalisasi seluruh gerakan nasionalis Indonesia. Sebagian dari para nasionalis ini mendirikan Partai Nasionalis Indonesia (PNI) pada tahun 1927 sebagai sebuah reaksi terhadap rezim yang represif. Tujuannya adalah mencapai kemerdekaan penuh untuk Indonesia.

Peristiwa penting lainnya bagi nasionalisme Indonesia adalah Sumpah Pemuda pada tahun 1928. Pada kongres yang dihadiri organisasi-organisasi pemuda ini, tiga idealisme diproklamasikan, menyatakan diri memiliki satu tanah air, satu bangsa dan satu bahasa. Tujuan utama dari kongres ini adalah mendorong persatuan antara kaum muda Indonesia. Di dalam kongres ini lagu yang kemudian menjadi lagu kebangsaan nasional (Indonesia Raya) dikumandangkan dan bendera nasional di masa kemerdekaan (merah-putih) dikibarkan untuk yang pertama kalinya. Pemerintah kolonial Belanda bertindak dengan melakukan aksi-aksi penekanan. Para pemimpin nasionalis muda, seperti Sukarno (yang di kemudian hari menjadi presiden pertama Indonesia) dan Mohammad Hatta (wakil presiden Indonesia yang pertama) ditangkap dan diasingkan.

Invasi Jepang ke Hindia Belanda

Penjahah Belanda cukup kuat untuk mencegah nasionalisme Indonesia dengan cara menangkap para pemimpinnya dan menekan organisasi-organisasi nasionalis. Namun para penjajah tidak bisa menghapuskan sentimen nasionalisme yang telah tertanam di hati bangsa Indonesia. Orang-orang Indonesia, di sisi lain, tidak cukup kuat untuk melawan pemimpin kolonialis dan karenanya membutuhkan bantuan dari luar untuk menghancurkan sistem kolonial.

Pada Maret 1942, tentara Jepang, dibakar semangatnya oleh keinginan akan minyak, menyediakan bantuan tersebut dengan menduduki Hindia Belanda. Walau pada awalnya disambut sebagai pembebas oleh penduduk pribumi Indonesia, mereka segera mengalami kesengsaraan di bawah penjajahan Jepang: kekurangan makanan, pakaian dan obat beserta kerja paksa di bawah kondisi yang menyiksa. Kurangnya makanan terutama disebabkan oleh administrasi yang tidak kompeten, dan ini mengubahkan Jawa menjadi sebuah pulau penuh kelaparan. Orang-orang Indonesia bekerja sebagai buruh paksa (disebut romusha) ditempatkan untuk bekerja dalam proyek-proyek konstruksi yang padat karya di Jawa.

Waktu Jepang mengambil alih Hindia Belanda para pejabat Belanda ditempatkan dalam kamp-kamp tawanan dan digantikan dengan orang-orang Indonesia untuk mengerjakan tugas-tugas kepemerintahan. Tentara Jepang mendidik, melatih dan mempersenjatai banyak kaum muda Indonesia dan memberikan suara politik kepada para pemimpin nasionalis. Ini memampukan para pemimpin nasionalis untuk mempersiapkan masa depan bangsa Indonesia yang merdeka. Pada bulan-bulan terakhir sebelum penyerahan diri Jepang, yang secara efektif mengakhiri Perang Dunia II, pihak Jepang memberikan dukungan penuh pada gerakan nasionalis Indonesia. Hancurnya kekuasaan politik, ekonomi, dan sosial pemerintah kolonial Belanda melahirkan sebuah era baru. Pada 17 Agustus 1945, Soekarno dan Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia, delapan hari setelah penjatuhan bom atom di Nagasaki dan dua hari setelah Jepang kalah perangnya.

Masa kemerdekaan

Nasionalisme Indonesia mulai tumbuh di Jawa pada awal abad ke-20 (lihat Kebangkitan Nasional Indonesia), dan perjuangan untuk mempertahankan kemerdekaan setelah Perang Dunia II juga berpusat di Jawa. Kudeta G 30 S PKI yang gagal dan kekerasan anti-komunis selanjutnya pada tahun 1965-66 sebagian besar terjadi di pulau ini. Jawa saat ini mendominasi kehidupan sosial, politik, dan ekonomi di Indonesia, yang berpotensi menjadi sumber kecemburuan sosial. Pada tahun 1998 terjadi kerusuhan besar yang menimpa etnis Tionghoa-Indonesia, yang merupakan salah satu dari berbagai kerusuhan berdarah yang terjadi tidak berapa lama sebelum runtuhnya pemerintahan Presiden Soeharto yang telah berjalan selama 32 tahun. Pada tahun 2006, Gunung Merapi meletus dan diikuti oleh gempa bumi yang melanda Yogyakarta. Jawa juga sempat terkena sedikit dampak wabah flu burung, serta merupakan lokasi bencana semburan lumpur panas Sidoarjo.

Geografi dan Geologi

Geografi

Jawa bertetangga dengan Sumatra di sebelah barat, Bali di timur, Kalimantan di utara, dan Pulau Natal di selatan. Pulau Jawa merupakan pulau ke-13 terbesar di dunia. Perairan yang mengelilingi pulau ini ialah Laut Jawa di utara, Selat Sunda di barat, Samudra Hindia di selatan, serta Selat Bali dan Selat Madura di timur. Jawa memiliki luas sekitar 138.793,6 km2. Sungai terbesar dan terpanjang di pulau ini adalah Bengawan Solo atau Brantas yang memiliki panjang sekitar 600 km, di bagian timur Pulau Jawa. Sungai ini bersumber di Jawa bagian tengah, tepatnya di gunung berapi Lawu. Aliran sungai kemudian mengalir ke arah utara dan timur, menuju muaranya di Laut Jawa di dekat kota Surabaya.

Gunung Semeru dan Bromo di Jawa Timur.

Sungai-sungai tersebut dan banyak sungai kecil merupakan sumber air untuk irigasi tetapi hanya dapat dilayari pada musim hujan, dan hanya dapat dilayari dengan perahu kecil. Jawa bertetangga dengan Sumatra di sebelah barat, Bali di timur, Kalimantan di utara, dan Pulau Natal di selatan. Pulau Jawa merupakan pulau ke-13 terbesar di dunia. Perairan yang mengelilingi pulau ini ialah Laut Jawa di utara, Selat Sunda di barat, Samudra Hindia di selatan, serta Selat Bali dan Selat Madura di timur. Jawa memiliki luas sekitar 138.793,6 km2. Sungai terbesar dan terpanjang di pulau ini adalah Bengawan Solo atau Brantas yang memiliki panjang sekitar 600 km, di bagian timur Pulau Jawa. Sungai ini bersumber di Jawa bagian tengah, tepatnya di gunung berapi Lawu. Aliran sungai kemudian mengalir ke arah utara dan timur, menuju muaranya di Laut Jawa di dekat kota Surabaya. Sungai-sungai tersebut dan banyak sungai kecil merupakan sumber air untuk irigasi tetapi hanya dapat dilayari pada musim hujan, dan hanya dapat dilayari dengan perahu kecil.

Topografi Pulau Jawa

Hampir keseluruhan wilayah Jawa pernah memperoleh dampak dari aktivitas gunung berapi. Terdapat tiga puluh delapan gunung yang terbentang dari timur ke barat pulau ini, yang kesemuanya pada waktu tertentu pernah menjadi gunung berapi aktif. Gunung berapi tertinggi di Jawa adalah Gunung Semeru (3.676 m) dan gunung tertinggi kedua Gunung Slamet (3.432 m), sedangkan gunung berapi paling aktif di Jawa dan bahkan di Indonesia adalah Gunung Merapi (2.968 m) serta Gunung Kelud (1.731 m). Gunung-gunung dan dataran tinggi yang berjarak berjauhan membantu wilayah pedalaman terbagi menjadi beberapa daerah yang relatif terisolasi dan cocok untuk persawahan lahan basah. Lahan persawahan padi di Jawa adalah salah satu yang tersubur di dunia. Jawa adalah tempat pertama penanaman kopi di Indonesia, yaitu sejak tahun 1699. Kini, kopi arabika banyak ditanam di Dataran Tinggi Ijen baik oleh para petani kecil maupun oleh perkebunan-perkebunan besar.

Suhu rata-rata sepanjang tahun adalah antara 22 °C sampai 29 °C, dengan kelembapan rata-rata 75%. Daerah pantai utara biasanya lebih panas, dengan rata-rata 34 °C pada siang hari di musim kemarau. Daerah pantai selatan umumnya lebih sejuk daripada pantai utara dengan, bahkan pada waktu tertentu yaitu musim bediding daerah tersebut akan mengalami penurunan suhu yang drastis, khususnya di daerah pantai selatan bagian tengah (Tatar Banyumas-Kedu) yang membentang dari Gunung Slamet sampai Dataran Tinggi Dieng yang merupakan titik berkumpulnya angin musim dingin dari Australia pada Juni sampai Agustus.

Iklim Pulau Jawa umumnya panas dan lembab sepanjang tahun. Titik terdingin (suhu rata-rata) di pulau Jawa berada di Gunung Slamet, meski bukan merupakan titik tertinggi pulau ini. Musim hujan berawal pada bulan Oktober dan berakhir pada bulan April, di mana hujan biasanya turun di sore hari, dan pada bulan-bulan selainnya hujan biasanya hanya turun sebentar-sebentar saja. Curah hujan tertinggi umumnya terjadi pada bulan-bulan bulan Januari dan Februari. Wilayah dengan curah hujan tertinggi berada di Ketenger, Banyumas yaitu 8.134,00 mm per tahun. Sedangkan curah hujan terendah berada di wilayah pantai utara Jawa Timur hanya 900 mm per tahun.

Luas kawasan hutan di Pulau Jawa mencapai 30.791,28 km² atau mencapai 24% dari luas Pulau Jawa sebesar 128.297 km². Dari 24% hutan atau dari 30.791,28 km² hutan yang ada di pulau Jawa, 19% di antaranya merupakan kawasan tutupan hutan dan 5% di antaranya merupakan kebun raya. 400 ribu hektar lahan hutan tersebut berstatus sangat kritis dan 600 ribu lahan hutan di antaranya berstatus hampir kritis. Hutan hujan lebat berlimpah di lereng pegunungan yang lembap, sementara hutan bambu lebat terdapat di bagian barat. Pohon buah-buahan di pulau ini termasuk pisang, mangga, dan berbagai spesies Asia.Pohon jati , rasamala, dan cemara serta bambu tumbuh di tegakan hutan, bersama dengan pohon sagu dan pohon beringin. Kayu jati merupakan salah satu ekspor utama Pulau Jawa.

Geologi

Penguraian geologi Jawa paling lengkap diungkap dalam van Bemmelen (1949). Sebagai pulau, Jawa secara geologi relatif muda. Pembentukan dimulai dari periode Tersier. Sebelumnya, kerak bumi yang membentuk pulau ini berada di bawah permukaan laut. Aktivitas orogenis yang intensif sejak kala Oligosen dan Miosen mengangkat dasar laut sehingga pada kala Pliosen dan Pleistosen wujud Pulau Jawa sudah mulai terbentuk. Sisa-sisa dasar laut masih tampak, membentuk fitur sebagian besar kawasan karst di selatan pulau ini. Van Bemmelen membagi Pulau Jawa dalam tujuh satuan fisiografi sebagai berikut :

  • Pegunungan Selatan, merupakan zona gamping bercampur sisa aktivitas vulkanis dari kala Miosen yang mengalami beberapa pengangkatan hingga periode Kuarter.
  • Zona vulkanis dari periode Kuarter, dengan gunung-gunung api tinggi, sering kali dengan puncak di atas 2000 m dari permukaan laut, membentang dari barat sampai ujung timur.
  • Depresi Tengah, membentuk poros cekungan sebagai poros utama pulau, dengan dua depresi besar: depresi Bandung dan depresi Solo
  • Zona antiklinal Tengah, terdiri dari endapan-endapan kala Miosen sampai Pleistosen, dimulai dari Gunung Karang terus ke timur melewati Bogor, lembah Serayu, lalu Pegunungan Kendeng, terus sampai ke pantai utara Besuki.
  • Depresi Randublatung, merupakan depresi kecil memanjang di utara Pegunungan Kendeng, terbentuk dari endapan laut dan daratan.
  • Antiklinorium Rembang-Madura, merupakan formasi perbukitan gamping di pantai utara Jawa Timur dan membentuk hampir semua bagian Pulau Madura
  • Dataran aluvial pesisir utara (Jalur Pantura) yang terbentuk dari delta dan endapan lumpur, merupakan daratan paling muda.

Demografi

Pemerintahan

Secara administratif pulau Jawa terdiri atas enam pemerintahan dalam tingkat provinsi yaitu Banten, Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Timur. Ibu kota provinsi Banten adalah Kota Serang. Ibukota Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta di Kota Jakarta Pusat. Ibu kota Provinsi Jawa Barat di Kota Bandung. Ibu kota Provinsi Jawa Tengah di Kota Semarang. Ibu kota Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta di Kota Yogyakarta. Ibu kota Provinsi Jawa Timur di Kota Surabaya.

Negara Indonesia
Provinsi Banten
 Daerah Khusus Ibukota Jakarta
 Jawa Barat
 Jawa Tengah
 Daerah Istimewa Yogyakarta
 Jawa Timur
Kota Terbesar  Jakarta

Penduduk

Dengan populasi sebesar 150 juta jiwa Jawa adalah pulau yang menjadi tempat tinggal lebih dari 50% atau hampir 60% populasi Indonesia. Dengan kepadatan 1.317 jiwa/km², pulau ini juga menjadi salah satu pulau di dunia yang paling dipadati penduduk. Sekitar 42% penduduk Indonesia berasal dari etnis Jawa. Walaupun demikian sepertiga bagian barat pulau ini (Jawa Barat, Banten, dan Jakarta) memiliki kepadatan penduduk lebih dari 1.500 jiwa/km2.

Jaringan Transportasi Jawa

Sejak tahun 1970-an hingga kejatuhan Presiden Soeharto pada tahun 1998, pemerintah Indonesia melakukan program transmigrasi untuk memindahkan sebagian penduduk Jawa ke pulau-pulau lain di Indonesia yang lebih luas. Program ini terkadang berhasil. Namun terkadang menghasilkan konflik antara transmigran pendatang dari Jawa dengan populasi penduduk setempat. Di Jawa Timur banyak pula terdapat penduduk dari etnis Madura dan Bali, karena kedekatan lokasi dan hubungan bersejarah antara Jawa dan pulau-pulau tersebut. Jakarta dan wilayah sekelilingnya sebagai daerah metropolitan yang dominan serta ibu kota negara, telah menjadi tempat berkumpulnya berbagai suku bangsa di Indonesia. Penduduk Pulau Jawa perlahan-lahan semakin berciri urban, dan kota-kota besar serta kawasan industri menjadi pusat-pusat kepadatan tertinggi. Berikut adalah 10 kota besar di Jawa berdasarkan jumlah populasi tahun 2005.

Budaya

Budaya Jawa merupakan “ladang” potensial yang masih memendam segudang informasi budaya untuk dapat digali seiring dengan perkembangan waktu. Banyak orang yang berusaha untuk mengungkap alam pikiran, pandangan, dan kehidupan orang Jawa yang tidak tuntas dan bahkan diperlukan cara-cara baru dalam mengungkap “misteri” kebudayaan Jawa tersebut. Kebudayaan Jawa mempunyai ciri khas yaitu terletak dalam kemampuan luar biasa untuk membiarkan diri dibanjiri oleh gelombang-gelombang kebudayaan yang datang dari luar dan dalam banjir tersebut dapat mempertahankan keasliannya. Dikatakan bahwa kebudayaan Jawa justru tidak menemukan diri dan berkembang kekhasannya dalam isolasi, melainkan dalam mencerna masukan-masukan budaya dari luar.

Mitos asal usul Pulau Jawa serta gunung-gunung berapinya diceritakan dalam sebuah kakawin, bernama tantu Panggelaran. Komposisi etnis di Pulau Jawa secara relatif dapat dianggap homogen, meskipun memiliki populasi yang besar dibandingkan dengan pulau-pulau besar lainnya di Indonesia. Terdapat dua kelompok etnis besar pulau ini, yaitu etnis Jawa dan etnis Sunda. Etnis Madura dapat pula dianggap sebagai kelompok ketiga, mereka berasal dari Pulau Madura yang berada di utara pantai timur Jawa, dan telah bermigrasi secara besar-besaran ke Jawa Timur sejak abad ke-18. Jumlah orang Jawa adalah sekitar dua-pertiga penduduk pulau ini, sedangkan orang Sunda mencapai 25% dan orang Madura mencapai 4% lebih atau hampir 5%.

Seorang pemuda berpakaian tradisional Jawa dengan blangkon, kain batik, dan keris (1913).

Empat wilayah budaya utama terdapat di pulau ini, sentral budaya Jawa (kejawen) di bagian tengah dan budaya Jawa pesisir (pasisiran) di pantai utara, budaya Sunda (pasundan) di bagian barat, dan budaya Osing (blambangan) di ujung timur. Budaya Madura terkadang dianggap sebagai yang kelima, terutama di kawasan pesisir utara Tapal Kuda, mengingat hubungan eratnya dengan budaya pesisir Jawa. Kejawen dianggap sebagai budaya Jawa yang paling dominan. Aristokrasi Jawa yang tersisa berlokasi di wilayah ini, yang juga merupakan etnis dengan populasi dominan di Indonesia. Bahasa, seni, dan tata krama yang berlaku di wilayah ini dianggap yang paling halus dan merupakan panutan masyarakat Jawa. Tanah pertanian tersubur dan terpadat penduduknya di Indonesia membentang sejak dari Banyumas di sebelah barat hingga ke Blitar di sebelah timur.

Jawa merupakan tempat berdirinya banyak kerajaan yang berpengaruh di kawasan Asia Tenggara, dan karenanya terdapat berbagai karya sastra dari para pengarang Jawa. Salah satunya ialah kisah Ken Arok dan Ken Dedes, yang merupakan kisah anak yatim yang berhasil menjadi raja dan menikahi ratu dari kerajaan Jawa kuno, dan selain itu juga terdapat berbagai terjemahan dari Ramayana dan Mahabharata. Pramoedya Ananta Toer adalah seorang penulis kontemporer ternama Indonesia, yang banyak menulis berdasarkan pengalaman pribadinya ketika tumbuh dewasa di Jawa, dan ia banyak mengambil unsur-unsur cerita rakyat dan legenda sejarah Jawa ke dalam karangannya.

Bahasa

Bahasa Jawa Tiga bahasa utama yang dipertuturkan di Jawa adalah bahasa Jawa, bahasa Sunda, dan bahasa Madura. Bahasa-bahasa lain yang dipertuturkan meliputi bahasa Betawi (suatu dialek lokal dari rumpun bahasa Melayu di wilayah Jakarta), Bahasa Bawean (erat hubungannya dengan bahasa Madura), dan bahasa Bali. Sebagian besar besar penduduk mampu berbicara dalam bahasa Indonesia, yang umumnya merupakan bahasa kedua mereka, namun ada lagi beberapa bahasa di pulau jawa, yang tidak banyak yang menggunakannya seperti Bahasa Tengger, Bahasa Osing, Bahasa Baduy, Bahasa Betawi.

  • Bahasa Jawa, Bahasa ini digunakan oleh penduduk suku jawa di pulau jawa, tepatnya di Jawa Tengah, Jogjakarta, dan Jawa Timur. Selain penggunaan bahasa daerah tersebut bahasa jawa juga kerap digunakan oleh penduduk di beberapa daerah lainnya, seperti di Serang, Cilegon, dan Tangerang yang termasuk wilayah Banten, di wilayah Jawa Barat seperti Karawang, Subang, Indramayu, dan Cirebon. Karena migrasi suku Jawa yang menyebar luas maka membuat bahasa Jawa dapat dijumpai di berbagai daerah hingga ke luar negeri. Terbukti dengan adanya pemukiman yang dikenal dengan nama kampung Jawa, padang Jawa yang berada di Malaysia, hingga kebudayaan jawa.
  • Bahasa Sunda, Bahasa ini dituturkan oleh suku sunda yang berada di Indonesia, penggunaannya masih aktif dan banyak digunakan di wilayah pulau jawa. hampir digunakan diseluruh provinsi Jawa Barat dan Banten, dan Jawa Tengah mulai dari wilayah sekitar Sungai Cipamali Kabupaten Brebes dan Sekitar Sungai Ciserayu di Kabupaten Cilacap. Sedangkan kawasan Propinsi Jakarta dan di seluruh propinsi di Indonesia merupakan hasil dari urbanisasi Suku Sunda.
  • Bahasa Tengger, Bahasa daerah ini digunakan di wilayah sekitar Gunung Bromo, yang mencakup luas di wilayah Probolinggo, Pasuruan, Malang dan Lumajang. Ada beberapa pihak yang beranggapan bahwa bahasa tengger ini merupakan turunan dari basa Kawi karena dalam bahasa tengger masih terdapat kalimat kuno yang sudah tidak dituturkan lagi dalam Bahasa Jawa modern.
  • Bahasa Osing, bahasa yang dituturkan oleh penduduk diwilayah sekitar Banyuwangi, Jawa Timur ini secara linguistik merupakan cabang Formosa dalam rumpun bahasa Austronesia. Tetapi di daerah Jember dialek bahasa ini banyak terpengaruhi oleh bahasa Jawa dan Madura, hal tersebut dikarenakan keterisolasiannya oleh penutur Osing lainnya di Banyuwangi.
  • Bahasa Baduy, Banyak yang menganggap bahasa ini merupakan dialek bahasa sunda, tetapi bahasa ini merupakan dialek bahasa tersendiri dan hanya dimasukkan ke dalam suatu rumpun bahasa Sunda. Penutur bahasa ini tersebar di wilayah Rangkas bitung, gunung Kendeng, Sukabumi, Lebak dan Pandeglang. Penutur bahasa ini adalah suku baduy di pulau jawa.
  • Bahasa Betawi, Dimasa perkembangan propinsi Jakarta bahasa betawi digunakan oleh masyarakat kalangan menengah kebawah, terutama komunitas budak dan pedagang salah satu penuturnya hingga berkembang secara alami dan tidak struktur baku yang jelas untuk membedakan antara bahasa betawi dengan bahasa melayu. Bahasa Betawi adalah bahasa kreol yang diambil dan didasarkan dengan bahasa melayu serta terdapat unsur-unsur bahasa Sunda, Bali, Hokkian (Cina selatan), Arab, selain itu terdapat unsur bahasa dari Eropa seperti belanda dan portugis.

Agama dan Kepercayaan

Jawa adalah kancah pertemuan dari berbagai agama dan budaya. Orang Jawa sebagian besar secara nominal menganut agama Islam, tetapi yang menganut agama Kristen Protestan dan Katholik juga banyak, mereka juga terdapat di daerah pedesaan. Penganut agama Buddha dan Hindu juga ditemukan pula di antara masyarakat Jawa. Ada pula yang masih memegang erat agama kuno suku Jawa yang disebut sebagai Kapitayan dan ada juga yang memadukan antara agama pendatang dengan Kapitayan, seperti orang yang memeluk islam tetapi orang tersebut masih mempercayai adat adat leluhur jawa, ini biasanya di sebut dengan Kejawen. Ajaran-ajaran kejawen bervariasi, dan sejumlah aliran dapat mengadopsi ajaran agama pendatang, baik Hindu, Buddha, Islam, maupun Kristen. Gejala sinkretisme ini sendiri dipandang bukan sesuatu yang aneh karena dianggap memperkaya cara pandang terhadap tantangan perubahan zaman.

Kejawen dalam opini umum berisikan tentang seni, budaya, tradisi, ritual, sikap, serta filosofi orang-orang Jawa. Kejawen juga memiliki arti spiritualistis atau spiritualistis suku Jawa, laku olah spiritualis kejawen yang utama adalah Pasa (Berpuasa) dan Tapa (Bertapa). Kejawen sendiri adalah bagian dari Kapitayan. Kapitayan salah-satu agama kuno yang dipeluk oleh masyarakat Jawa. terutama bagi mereka yang beretnis Jawa sejak era paleolitik, mesolitik, neolitik dan megalit. Kapitayan merupakan salah satu bentuk monoteisme asli Jawa yang dianut dan dijalankan oleh masyarakat Jawa secara turun temurun sejak zaman dahulu. Menurut beberapa spiritual jawa Taya dimaknai “absolut” sehingga tidak dapat dipikirkan, dibayangkan, dan tidak dapat didekati oleh panca indera. Leluhur Jawa kuno biasa mendefinisikan Sang Hyang Taya dalam ungkapan “Tan Kena Kinaya Ngapa”, yang memiliki arti “tidak bisa diapa-apakan keberadaan-Nya”. Beberapa kalangan berpendapat bahwa agama ini merupakan agama asli dan tertua di Jawa bahkan seluruh Nusantara. Kapitayan lahir jauh sebelum hadirnya pengaruh Hindu dan Budha.

Pengaruh budaya India adalah yang datang pertama kali dengan agama Hindu-Siwa dan Buddha, yang menembus secara mendalam dan menyatu dengan tradisi adat dan budaya masyarakat Jawa. Para brahmana kerajaan dan pujangga istana mengesahkan kekuasaan raja-raja Jawa, serta mengaitkan kosmologi Hindu dengan susunan politik mereka. Meskipun kemudian agama Islam menjadi agama mayoritas, kantong-kantong kecil pemeluk Hindu tersebar di seluruh pulau. Terdapat populasi Hindu yang signifikan di sepanjang pantai timur dekat Pulau Bali, terutama di sekitar kota Banyuwangi. Sedangkan komunitas Buddha umumnya saat ini terdapat di kota-kota besar, terutama dari kalangan Tionghoa-Indonesia.

Sekumpulan batu nisan Muslim yang berukiran halus dengan tulisan dalam bahasa Jawa Kuno dan bukan bahasa Arab ditemukan dengan penanggalan tahun sejak 1369 di Jawa Timur. Damais menyimpulkan itu adalah makam orang-orang Jawa yang sangat terhormat, bahkan mungkin para bangsawan. M.C. Ricklefs berpendapat bahwa para penyebar agama Islam yang berpaham sufi-mistis, yang mungkin dianggap berkekuatan gaib, adalah agen-agen yang menyebabkan perpindahan agama para elit istana Jawa, yang telah lama akrab dengan aspek mistis agama Hindu dan Buddha. Sebuah batu nisan seorang Muslim bernama Maulana Malik Ibrahim yang bertahun 1419 (822 Hijriah) ditemukan di Gresik, sebuah pelabuhan di pesisir Jawa Timur. Tradisi Jawa menyebutnya sebagai orang asing non-Jawa, dan dianggap salah satu dari sembilan penyebar agama Islam pertama di Jawa (Walisongo), meskipun tidak ada bukti tertulis yang mendukung tradisi lisan ini.

Saat ini hampir 100% suku Madura, Betawi, Bawean, & Sunda, serta sekitar 95 persen suku Jawa menganut agama Islam. Agama Islam sangat kental memberi pengaruh pada suku Betawi, Banten, Cirebon dan Sunda. Muslim suku Jawa dapat dibagi menjadi abangan (lebih sinkretis) dan santri (lebih agamais). Dalam sebuah pondok pesantren di Jawa, para kyai sebagai pemimpin agama melanjutkan peranan para resi pada masa Hindu. Para santri dan masyarakat di sekitar pondok umumnya turut membantu menyediakan kebutuhan-kebutuhannya. Tradisi pra-Islam di Jawa juga telah membuat pemahaman Islam sebagian orang cenderung ke arah mistis. Terdapat masyarakat Jawa yang berkelompok dengan tidak terlalu terstruktur di bawah kepemimpinan tokoh keagamaan, yang menggabungkan pengetahuan dan praktik-praktik pra-Islam dengan ajaran Islam.

Masjid di Pati, Jawa Tengah, pada masa kolonial. Masjid ini menggabungkan gaya tradisional Jawa (atap bertingkat) dengan arsitektur Eropa.

Agama Katolik Roma tiba di Indonesia pada saat kedatangan Portugis dengan perdagangan rempah-rempah. Agama Katolik mulai menyebar di Jawa Tengah ketika Frans van Lith, seorang imam dari Belanda, datang ke Muntilan, Jawa Tengah pada tahun 1896. Kristen Protestan tiba di Indonesia saat dimulainya kolonialisasi Perusahaan Hindia Timur Belanda (VOC) pada abad ke-16. Kebijakan VOC yang melarang penyebaran agama Katolik secara signifikan meningkatkan persentase jumlah penganut Protestan di Indonesia. Komunitas Kristen terutama terdapat di kota-kota besar, meskipun di beberapa daerah di Jawa tengah bagian selatan terdapat pedesaan yang penduduknya memeluk Katolik. Terdapat kasus-kasus intoleransi bernuansa agama yang menimpa umat Katolik dan kelompok Kristen lainnya.

Tahun 1956, Kantor Departemen Agama di Yogyakarta melaporkan bahwa terdapat 63 sekte aliran kepercayaan di Jawa yang tidak termasuk dalam agama-agama resmi di Indonesia. Dari jumlah tersebut, 35 berada di Jawa Tengah, 22 di Jawa Barat dan 6 di Jawa Timur. Berbagai aliran kepercayaan (juga disebut kejawen atau kebatinan) tersebut, di antaranya yang terkenal adalah Subud, memiliki jumlah anggota yang sulit diperkirakan karena banyak pengikutnya mengidentifikasi diri dengan salah satu agama resmi pula.

Perekonomian

Awalnya, perekonomian Jawa sangat tergantung pada sektor pertanian dan perkebunan, khususnya dari bercocok tanam di areal persawahan. Kerajaan-kerajaan kuno di Jawa, seperti Tarumanagara, Mataram, dan Majapahit, sangat bergantung pada panen padi dan pajaknya. Jawa terkenal sebagai lumbung padi dan menjadi pengekspor beras sejak zaman dahulu. Secara tidak langsung tanah jawa yang subur menjadi kontribusi terhadap pertumbuhan penduduk pulau ini. Perdagangan dengan negara-negara di Asia lainnya seperti India dan Tiongkok sudah terjadi pada awal abad ke-4, terbukti dengan ditemukannya beberapa peninggalan sejarah berupa keramik Tiongkok dari periode tersebut.

Wanita Jawa menanam padi di persawahan

Selain itu Jawa juga terlibat aktif dalam perdagangan domestik misalnya perdagangan rempah-rempah Maluku yang sudah dirintis semenjak era Majapahit hingga era Perusahaan Hindia Timur Belanda (VOC). Perusahaan dagang tersebut mendirikan pusat administrasinya di Batavia pada abad ke-17, yang kemudian terus dikembangkan oleh pemerintah Hindia Belanda sejak abad ke-18. Selama masa penjajahan, Belanda memperkenalkan budidaya berbagai tanaman komersial seperti tebu, kopi, karet, teh, kina, dan lain-lain. Di beberapa wilayah Jawa dibuka lahan perkebunan dalam skala besar dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan ekspor. Beberapa komoditas berhasil dikembangkan di Jawa salah satunya adalah Kopi. Kopi Jawa bahkan mendapatkan popularitas global di awal ke-19 dan abad ke-20, sehingga nama Java telah menjadi sinonim untuk kopi.

Jawa telah menjadi pulau paling berkembang di Indonesia sejak era Hindia Belanda hingga saat ini. Jaringan transportasi jalan yang telah ada sejak zaman kuno dipertautkan dan disempurnakan dengan dibangunnya Jalan Raya Pos Jawa oleh Daendels di awal abad ke-19. Kebutuhan transportasi produk-produk komersial dari perkebunan di pedalaman menuju pelabuhan di pantai, telah memacu pembangunan jaringan kereta api di Jawa. Saat ini, industri, bisnis dan perdagangan, juga jasa berkembang di kota-kota besar di Jawa, seperti Jakarta, Surabaya, Semarang, dan Bandung, sedangkan kota-kota kesultanan tradisional seperti Yogyakarta, Surakarta, dan Cirebon menjaga warisan budaya keraton dan menjadi pusat seni, budaya dan pariwisata. Kawasan industri juga berkembang di kota-kota sepanjang pantai utara Jawa, terutama di sekitar Cilegon, Tangerang, Bekasi, Karawang, Gresik, dan Sidoarjo.

Jaringan jalan tol dibangun dan diperluas sejak masa pemerintahan Soeharto hingga sekarang, yang menghubungkan pusat-pusat kota dengan daerah sekitarnya, di berbagai kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, Cirebon, Semarang, dan Surabaya. Selain jalan tol tersebut, di pulau ini juga terdapat 16 jalan raya nasional. Dari segi perkeretaapian, Pulau Jawa mempunyai jaringan jalur kereta api sejak abad ke–19 semenjak Nederlandsch-Indische Spoorweg Maatschappij (NIS) membangun jalur kereta api pertama di Indonesia, tepatnya di petak Stasiun Samarang–Tanggoeng pada tanggal 17 Juni 1864 yang mendukung kelancaran perekonomian Pulau Jawa dari segi mobilitas maupun logistik. Kelima jalur utama kereta api tersebut adalah:

  • Jalur barat Jawa: Jakarta–Bandung
  • Jalur selatan Jawa: Bandung–Yogyakarta–Surakarta–Surabaya
  • Jalur tengah Jawa: Jakarta–Purwokerto–Yogyakarta–Surakarta–Surabaya
  • Jalur timur Jawa: Surabaya–Jember–Banyuwangi
  • Jalur utara Jawa: Jakarta–Cirebon–Semarang–Surabaya

Flora dan Fauna

Flora

Pulau Jawa, yang merupakan salah satu pulau terbesar di Indonesia, memiliki kekayaan alam yang menakjubkan, termasuk beragam flora yang hidup di berbagai ekosistemnya. Kondisi iklim Pulau Jawa sangat bervariasi dengan tingkat curah hujan dan kelembapan udara yang semakin berkurang ke arah timur. Wilayah Jawa Barat didominasi tipe iklim hutan hujan tropis dan iklim musim tropis. Jenis flora khas hutan musim tropis yaitu tanaman meranggas seperti pohon jati. Semakin ke timur, tipe iklim bergeser ke arah tipe iklim dengan curah hujan yang lebih rendah. Jenis vegetasi yang mendominasi wilayah Jawa bagian timur dan Pulau Bali adalah vegetasi sabana tropis. Flora berbeda, namun sering dikelirukan dengan vegetasi, di mana flora secara ringkas berisi (daftar) kekayaan jenis tetumbuhan, sedangkan vegetasi berarti kelompok-kelompok tetumbuhan yang berinteraksi membentuk suatu komunitas tertentu (misalnya hutan, sabana, padang rumput).

Gambar Bunga Cempaka Putih (Kembang Kantil)

Pulau Jawa adalah rumah bagi banyak spesies tumbuhan yang unik dan hanya dapat ditemukan di sini. Salah satu contoh endemik adalah “Rafflesia arnoldii,” yang memiliki bunga terbesar di dunia. Sayangnya, beberapa tumbuhan di Jawa, seperti “Araucaria cunninghamii,” juga berada dalam bahaya kepunahan akibat perubahan lingkungan dan aktivitas manusia. Jawa juga memiliki beragam tumbuhan yang digunakan dalam pengobatan tradisional. Contohnya adalah “Tongkat Ali” (Eurycoma longifolia) yang digunakan dalam pengobatan herbal. Keanekaragaman tumbuhan yang hanya ada di Pulau Jawa, setiap tahun jumlahnya mengalami pengurangan, bahkan beberapa diantaranya dinyatakan hampir punah. Berikut adalah tumbuhan yang hanya bisa ditemukan di Pulau Jawa:

  • Cempaka Putih atau kantil (Magnolia × alba (D.C.) Figlar & Noot.) adalah salah satu anggota suku Magnoliaceae. Tumbuhan ini dikenal di Indonesia dan beberapa negara tetangganya karena kuncup bunganya sering kali dipakai dalam upacara-upacara tradisional atau ritual tertentu. Secara botani, ia adalah hibrida (hasil persilangan) antara M. champaca dan M. montana. Bunga kantil dipakai sebagai hiasan ronce (biasanya diletakkan di ujung), sesajen, serta diletakkan di daun telinga pengantin pada Suku Jawa atau pendeta. Bunga ini menjadi flora resmi Provinsi Jawa Tengah.
  • Bunga Edelweis (anaphalis javanica) yang juga memiliki nama lain senduro, merupkan tumbuhan yang ada di zona alpina di setiap pegunugan di Indonesia. Tinggi tanaman ini bisa mencapai 8 meter dengan batang sebesar kaki manusia dan masuk ke dalam tumbuhan langka. Bunga edelweis bermekaran pada bulan April hingga Agustus. Pada tahun 1988, sebanyak 636 batang bunga edelweis dibawa oleh pegunjung dari Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (salah satu tempat perlindungan terakhir edelweis). Saat ini, setiap pendaki yang ketahuan memetik dan membawa bunga edelweis akan dikenakan hukuman dan denda.
  • Mangga lalijiwo adalah sejenis pohon mangga. Nama ilmiahnya adalah Mangifera lalijiwa, dan termasuk ke dalam suku Anacardiaceae. Dinamakan “lalijiwa” karena jika memakan buah mangga ini, maka yang memakannya akan lupa diri karena terlena dengan rasanya yang sangat manis. Tingginya mencapai 8 m dengan diameter tajuk mencapai 9 m. Batangnya keabu-abuan dengan kulit berbelah-belah tidak rata, getahnya putih bening. Daunnya berwarna hijau tua, berbentuk lonjong dengan bagian ujung dan pangkal meruncing. Panjang daun sekitar 20 cm. Bunganya berbentuk malai sepanjang 24 cm, berwarna kekuningan. Buahnya bulat panjang (lonjong) dengan bagian ujung sedikit berparuh dan berlekuk (bengkok). Kulit buah berwarna hijau tua dengan bintik putih kehijauan yang dilapisi lilin. Saat sudah matang, warnanya menjadi agak kelabu. Daging buah tebal, padat, kuning tua, isi airnya sedikit. Rasanya manis, kompilasi masih muda atau mentah pun tidak asam. Aromanya harum, namun kurang tajam. Panjang buah sekitar 7 cm dengan berat rata-rata 200 gr / buah.
  • Buah kepel (stelechocarpus burahol), tumbuhan ini hanya ada di daerah Istimewa Yogyakarta. Buah kepel dahulu menjadi makanan favorit putri kraton di Jawa, karena dapat membuat keringat menjadi wangi dan air seni baunya tidak menyengat. Kulit buah kepal mirip dengan sawo, dan menempel di bagian batang pohon. Jika dibelah daging buah kepel berwarna jingga dan memiliki aroma mirip bunga mawar dengan campuran buah sawo. Daging buah kepal dipercaya dapat meluruhkan kencing, mencegah radang ginjal serta dapat dijadikan obat alami untuk mendapatkan keturunan.
  • Gandaria (bouea macrophylla) dinobatkan sebagai tanaman identitas Jawa Barat. Gandaria memiliki banyak sebutan antara lain; jatake, ramania, kundangan, serta nama lainnya. Hampir semua bagian dari tanaman gandaria dapat dimanfaatkan, tetapi yang paling sering yaitu buahnya.
  • Bambu Embong ( bambusa cornuta) merupakan jenis bambu yang ditemukan pada abad ke-18, dan menjadi satu-satunya yang masih hidup di dunia dan hanya ada di Malang, Jawa Timur. Yang membedakan bambu embong dengan bambu pada umunya, tumbuhnya tidak bergerombol menjadi rumpun, tetapi menjalar dan saling mengikat. Karena sifatnya itulah, bambu embong dapat mencegah erosi dan cocok ditanam di lereng bukit.
  • Jeruk jepara alias jeruk swing dengan nama latin Limnocitrus littoralis (Miq.) Swingle merupakan tanaman endemik Jawa Tengah Indonesia dan hanya terdapat di Jepara dan Rembang (Cagar Alam Keling dan Cagar Alam Celering), Jawa Tengah. Jeruk Jepara (Limnocitrus littoralis) adalah spesies tanaman dalam keluarga Rutaceae. Jeruk Jepara sendiri masuk dalam status konservasi dengan status Endangered (Terancam Bahaya/Punah) oleh IUCN Redlist. Jeruk jepara dengan nama ilmiah Limnocitrus littoralis (Miq.) Swingle merupakan tanaman yang memiliki kekuatan luar biasa. Antara lain tahan penyakit dan mampu hidup di tanah berpasir yang berkadar garam tinggi. Juga banyak terdapat di daerah rawa-rawa di pinggir pantai dan tepian sungai dekat pantai. Sifat pertumbuhan tanaman mirip sekali dengan pohon bakau. Ketika hampir seluruh tanaman jeruk di pantai utara Jawa Tengah terserang penyakit, ternyata jeruk jepara masih tetap bertahan, sehat, dan tidak terkena pengaruh apa-apa.
  • Bayur (pterospermun javanicum) atau bayor, merupakan tanaman jenis pohon yang mempunyai kualitas kayu yang cukup baik. Tanaman ini banyak ditemukan di dataran rendah di ketinggian 1.000 meter di atas permukaan laut, terutama di daerah iklim tropis seperti Indonesia. Pohon bayur bisa memiliki ketinggian hingga 45 meter dengan lebar 1 meter. Meskipun sering ditemukan hidup di tanah lembab yang tidak digenangi air, bayur juga dapat hidup pada tanah kering, tanah berpasir atau tanah liat berpasir.
  • Sawo Kecik (Manilkara kauki) berukuran sedang dengan tinggi mencapai 25 m dengan diameter dapatmencapai 100 cm. Daun-daunnya mengelompok pada bagian ujung batang. Di permukaan bawah daun berwarna keputihan dan halus dengan tangkai daun tidak menebal, panjang tangkai daun 7 mm. Kuncup bunga berbentuk bulat telur. Buah berbentuk bulat telur atau bulat telur sungsang berukuran kecil dengan panjang berkisar 3.7 cm dan mempunyai kulit pembungkus yang sangat tipis dan mudah dikelupas. Sawo Kecik berakar tunggang yang berbentuk kerucut panjang, tumbuh lurus kebawah, bercabang banyakdan cabang-cabangnya bercabang lagi, sehingga dapat memberi kekuatan yang lebih besar kepada batang dan menghasilkan daerah perakaran yang amat luas, sehingga dapat menyerap air dan zat-zat makanan yang lebih banyak.

Beragam flora alam Jawa menciptakan potensi ekoturisme yang besar. Melalui pendidikan dan kesadaran lingkungan, wisatawan dapat membantu melindungi flora dan ekosistem Jawa sambil menikmati keindahannya. Penduduk setempat sering memanfaatkan pengetahuan tentang flora alam Jawa untuk tujuan medis. Pulau Jawa adalah berkah alam yang sangat kaya dengan keanekaragaman flora yang menakjubkan. Upaya untuk melindungi, menjaga, dan memahami tumbuhan ini menjadi kunci untuk mempertahankan keindahan alam Jawa dan warisan alamnya yang tak ternilai harganya.

Fauna

Pulau ini juga merupakan rumah bagi monyet, babi hutan, dan buaya; sekitar 400 spesies burung, 100 spesies ular, 500 spesies kupu-kupu, dan banyak jenis serangga. Fauna yang ada di pulau ini antara lain badak bercula satu dan banteng (sapi liar), meskipun spesies ini kini terbatas hanya terdapat di wilayah yang lebih terpencil, terutama di wilayah terpencil.Taman Nasional Ujung Kulon , di ujung barat pulau (ditetapkan sebagai situs Warisan Dunia UNESCO pada tahun 1991) harimau jawa kini sudah punah. Pada masa lalu, harimau bisa berkeliaran dengan bebas di Pulau Jawa. Namun, seiring dengan gencarnya eksploitasi lahan hutan dan perburuan yang meluas, kepunahan harimau Jawa (panthera tigris sondaica) menjadi tidak dapat dihindari.

Selama berabad-abad, harimau Jawa dan manusia hidup berdampingan. Relung ekologi harimau dan manusia sangat tumpah tindih, keduanya berkembang di tepi hutan dan berburu hewan buruan yang serupa. Kedekatan ini tercermin dalam kepercayaan lokal terhadap harimau. Bagi penduduk pedesaan, harimau dianggap sebagai manifestasi roh leluhur (danyang) yang melindungi dan mengawasi perilaku mereka. Roh-roh penjaga ini diyakini bersemayam di pohon-pohon besar atau batu-batu di hutan.

Harimau juga dianggap memiliki kedekatan dengan hutan. Mantan Residen Yogyakarta, John Crawfurd, mengutip cerita Jawa yang menceritakan. Dalam kisah itu, keduanya saling melindungi satu sama lain. Ketika manusia mencoba mengambil kayu dari hutan, mereka merasa takut terhadap harimau. Namun, ketika mereka berusaha memburu harimau, hutan menyembunyikan harimau tersebut. Meskipun kisah ini berakhir menyedihkan dengan bencana ekologi yang menghancurkan keduanya, cerita ini tetap mencerminkan ikatan esensial yang ada antara harimau dan hutan.

Pada awal abad ke-19, harimau Jawa masih dapat dijumpai dengan mudah di wilayah sekitar Panarukan dan Banyuwangi. Awalnya, harimau melindungi ladang dengan memangsa satwa liar yang mencoba memakan hasil pertanian Mereka jarang sekali mengganggu manusia dan ternak. Baik harimau maupun manusia saling beradaptasi satu sama lain dengan lingkungan. Harimau beradaptasi secara biologis, sementara manusia beradaptasi dengan simbolisme dan budaya.

Namun, kondisi ini berubah drastis ketika pembukaan lahan hutan untuk perkebunan mengalami peningkatan signifikan pada abad ke-19. Pembukaan hutan untuk perkebunan menarik ribuan pendatang dari Jawa Tengah dan Madura ke wilayah ini. Para pendatang ini dengan cepat menguras sumber daya hutan dan satwa liar buruan utama harimau. Dampak ekologis dari pergeseran populasi ini jauh lebih signifikan daripada dampak yang pernah dihasilkan oleh manusia sebelumnya di Jawa. Banyak kawasan hutan monsun di wilayah Jawa Timur, yang notabene habit harimau, beralih menjadi perkebunan jati.

Keseimbangan dinamis antara manusia dan harimau Jawa mulai terganggu pada titik ini. Pembukaan hutan yang mengganggu ekosistem tempat harimau tinggal mengharuskan mereka untuk mencari makanan lebih dekat ke pemukiman manusia. Seiring dengan perubahan ini, citra harimau berubah dari pelindung yang dianggap sebagai penjelmaan roh leluhur menjadi predator yang kejam, memangsa ternak dan bahkan mengancam manusia. Di lain pihak, orang-orang Belanda sudah lama menganggap harimau sebagai ancaman serius. Pada awal masa pemerintahan VOC di Batavia, harimau menjadi momok yang menakutkan bagi penduduk setempat.

Sebagai respons terhadap ancaman ini, para pejabat VOC mengorganisir perburuan massal harimau. Mereka menawarkan hadiah besar kepada pemburu yang berhasil menangkap harimau. Pemberian hadiah terhadap pemburu harimau sempat dihentikan pada 1762, karena memakan anggaran yang terlampau besar. Namun, pada Maret 1817, Residen Cirebon meminta izin kepada Gubernur Jenderal untuk menghidupkan kembali sistem ini menyusul meningkatnya populasi harimau di sekitar kota tersebut. Permintaan itu kemudian diikuti oleh para residen lain yang mengeluhkan masalah serupa. Menurut data yang dihimpun Peter Boomgaard (2001), saat itu masih terdapat sekitar 2500 ekor di Pulau Jawa.

Bersamaan dengan itu, penduduk Jawa sedang dilanda kelaparan dan kemiskinan akut lantaran kekeringan berkepanjangan. Sistem pemberian hadiah dengan imbalan tentu sangat menarik bagi warga. Hasilnya, pada akhir 1820-an, tercatat ada 1100 harimau yang dibunuh atau ditangkap. Citra harimau Jawa yang sebelumnya dipandang sebagai manifestasi roh leluhur berubah secara drastis, menjadi hewan buas yang layak untuk diburu. Bahkan, Bataviasche Courant, surat kabar resmi pemerintah, pernah memuat artikel yang mengusulkan pembentukan Perhimpunan Pemusnahan Harimau di Jawa. Meskipun usulan ini tidak pernah terwujud, pemerintah kolonial tetap menjadikan harimau sebagai ancaman yang harus dimusnahkan.

Antara tahun 1862 dan 1904, angka kematian orang yang disebabkan oleh serangan harimau di Jawa dan Sumatra diumumkan setiap tahun dalam Koloniaal Verslag (Laporan Kolonial). Pengumpulan dan publikasi data ini terkait dengan keputusan pemerintah tertanggal 8 Agustus 1862, No. 7 yang menetapkan sistem hadiah bagi siapa pun yang berhasil membunuh harimau di seluruh karesidenan Jawa dan Sumatra. Keputusan ini secara tidak langsung memicu praktik perburuan harimau di seluruh wilayah Jawa dan Sumatra. Orang-orang bersaing untuk membunuh harimau demi mendapatkan hadiah. Sistem hadiah ini baru dihapuskan pada tahun 1897, bukan karena pemerintah menganggap ancaman terhadap harimau telah hilang, melainkan karena dianggap terlalu mahal dan tidak efisien.

Kendati upaya pemburuan harimau dikurangi setelah penghapusan sistem hadiah, praktik perburuan ini tidak berhenti sepenuhnya. Pada abad ke-20, para pemburu masih menjadikan harimau sebagai sasaran buruan utama. Akibatnya, hanya tersisa sekitar 200-300 harimau Jawa pada awal 1940-an. Ironisnya, jumlah harimau Jawa terus berkurang pasca kemerdekaan. Hingga akhir tahun 1960-an, harimau masih diburu di Banyuwangi. Namun, setelah itu harimauharimau tersebut benar-benar sulit untuk ditemukan. Seorang pemburu harimau yang biasanya menangkap seekor harimau setiap tahun dengan perangkap baja, mengaku menangkap harimau terakhirnya pada 1962.

Pada tahun 1976, harimau hanya dapat ditemukan di kawasan Meru-Betiri, Banyuwangi. Sayangnya, hanya tiga harimau yang tersisa di Meru-Betri. Berbagai kisah muncul mengiringi kematian harimau Jawa yang terakhir. Konon harimau terakhir ini mati ditembak oleh Soeharto, Pangeran Bernhard dari Belanda atau Shah Iran. Namun, terlepas dari semua itu, kepunahan harimau merupakan contoh nyata dari ketamakan manusia dalam memonopoli sumber daya alam tanpa menghiraukan makhluk lain di sekitarnya.

Artikel Terkait